POTRET SANITASI PONDOK PESANTREN DI KOTA DAN KABUPATEN PASURUAN
Ditulis oleh, MH Dardiri (Kang Jodhy), Area Manager IWINS USAID
Pondok pesantren, dikenal sebagai wahana tempat belajar para santriwan dan santriwati dalam mendalami ilmu agama Islam. Juga wahana dalam mendalami pola hidup bermasyarakat. Secara umum, pesantren menggambarkan kehidupan masyarakat yang universal. Semua santri berada dalam satu lokal pemondokan dengan tingkat sosial yang beragam. Baik dari sisi relasi kuasa, kebijakan, kesehatan dan semua sarana pendukung kehidupan ada dalam pesantren.
Sebagaimana sanitasi rumah, sanitasi Ponpes pada dasarnya adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, dimana orang menggunakannya sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air bersih.
Di kabupaten dan kota Pasuruan terdapat 156 pesantren besar dan kecil (dari sisi jumlah santri yang tinggal di pesantren). Dengan jumlah santri sekitar 70.000 jiwa yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Dari jumlah 156 pesantren ini team observasi mengambil sample di 12 pesantren. Yakni PP Darul Karomah Kraton Pasuruan, PP Nurudzolam Bangil, PP Wahid Hasyim Bangil, PP Alhidayah 1 Putra, PP Alhidayah 1 Putri, PP Alhidayah 2 Sukorejo, PP Darut Taqwa Sengon Agung, PP Alfalah Winongan, PP Salafiah Abdul Hamid Putra, PP Salafiah Abdul Hamid Putri, PP Almas’udi Sukorejo, PP Sidogiri, dan PP Cangakan Bangil. Dengan jumlah santri total dari 12 pesantren tersebut mencapai 19.489 jiwa/santri putra dan putri. Pengambilan pesantren sebagai sample tadi semata berdasar lokasi pesantren yang mewakili kawasan pegunungan dan pedesaan, kawasan perkotaan dan kawasan pesisir.
Dari observasi yang dilakukan di berbagai Lingkungan ponpes masih banyak ditemukan berbagai bermasalah dari aspek sanitasi. Berbagai penyakit berbasis lingkungan yang umum sering menjadi masalah di Ponpes seperti kudis (scabies) diare, ISPA, masih banyak di temukan. Hal ini disebabkan oleh lingkungan yang kurang sehat . Kondisi sanitasi pada Ponpes akan sangat berkaitan dengan angka penyakit berbasis lingkungan yang menular.
Bagaimana dengan kondisi sarana sanitasi, akses air bersih dan pengelolaan limbah dan sampah pesantren di pasuruan?
Dari observasi yang di lakukan oleh team IWINS USAID, Sebagian besar sarana sanitasi pesantren masih jauh dari kelayakan. Baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.
Hampir semua pesantren sudah mempunyai sarana MCK, namun buangannya masih belum memenuhi standar kesehatan. Kita ambil contoh di salah satu pesantren dengan jumlah santrinya yang hampir mencapai angka 2.500 jiwa ini, hanya terdapat 60 unit kamar mandi/wc. Secara kesehatan idealnya tersedia 165 unit kamar mandi/ wc. Sudah begitu kondisi sarananya sangat tidak layak, tidak bersih dan cenderung kumuh. Di pesantren lain yang jumlah santrinya 360 jiwa, hanya terdapat 15 unit kamar mandi/wc. Lebih parah lagi di salah satu pesantren dengan 123 santri hanya tersedia 3 unit kamar mandi/wc dengan satu sumur gali.
Jika dihitung, dalam sehari, berapa jumlah tinja yang dikeluarkan oleh santri kota dan kabupaten pasuruan? Jika dalam sehari satu santri mengeluarkan 2.00 gram tinja, maka dalam sehari akan dihasilkan 14 ton kototran manusia, dalam sebulan akan dihasilkan 420 ton kotoran manusia yang mukim di pesantren. Kondisi ini juga diperparah dengan belum adanya tempat pengolahan limbah buangan air sisa mandi, cuci bahkan limbah dapur santri.
Sementara suplay air bersih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masih jauh dari sisi kecukupan, kualitas juga masih belum sehat bener, bahkan suistananblenyapun masih belum ada jaminan. Akses air bersih sumbernya masih beragam, sebagian memanfaatkan sumur gali, sebagian lagi memakai air sumber sebagian lagi memanfaatkan PDAM. Bahkan ada pesantren yang menggunakan air sungai tanpa treatment untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakusnya.
Sampah juga menjadi permasalahan yang masih sangat serius, dari hasil observasi lapangan ada berbagai macam sampah yang dihasilkan dari pesantren, diantaranya adalah sampah kertas, plastik, sampah sisa makanan, dan sampah pembalut. Dan di semua pesantren belum ada tempat pengolahan sampah.
Hitungan sederhananya, jika di kabupaten dan kota pasuruan ada 70.000 jiwa/santri yang mukim di pesantren, dan jika satu santri dalam sehari menghasilkan 150 gram s/d 200 gram sampah saja, maka dalam sehari sampah yang dihasilkan oleh santri kota dan kabupaten pasuruan bisa mencapai 10,5 ton sampai 14,0 ton.
Belum lagi dengan sampah yang tidak kalah bahayanya bagi kesehatan, yakni sampah pembalut santri putri. Dari 70.000 santri pasuruan, 32.600 nya adalah santri putri. Bisa dibayangkan jika dalam satu bulan santri putri mengalami masa haid selama tujuh hari, maka hitungan sampah pembalutnya adalah; 32.600 santri putri dikalikan 7 hari dan dalam sehari ganti 3 kali pembalut maka, dalam sebulan pesantren kota dan kabupaten pasuruan akan menghasilkan 684.600 biji sampah pembalut. Dan sayangnya di semua pesaantren tidak tersedia sarana pengolahan bahkan tempat sampah khusus pembalut santri putrinya.
Di samping permasalahan sanitasi, akses air bersih dan sampah, pesantren juga dihadapkan pada permasalahan kepadatan penghuninya. Sebagian pesantren dalam satu raungan dengan ukuran 4×6 m bisa dihuni oleh 19 s/d 20 santri tanpa dipan. Namun begitu sudah ada pesantren dengan ruang kamar ukuran 3×4 yang sudah di huni oleh 6 s/d 8 santri dengan menggunakan dipan bertingkat. Sayangnya sebagian lagi dengan kepadatan penghuninya tidak memperhatikan kelembapan udaranya serta pencahayaan yang masuk ke kamar santri. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya penularan scabies lebih besar lagi.
Dengan kondisi yang seperti ini wajar jika:
- Keterbatasan sarana
Sarana ini meliputi sanitasi, kepadatan pemondokan, ruang belajar santri serta masjid ponpes, yang kesemuanya berhubungan erat dengan konstruksi, penyediaan dan suplay air bersih, ketersediaan jamban, pengelolaan sampah, sistem pembuangan air limbah.
- Keterbatasan Lahan
Tidak jarang, dalam pembangunan infra struktur pesantren tidak memperhatikan dan mempersiapkan lahan untuk sanitasi dan pengolahan limbahnya. Seiring dengan perkembangannya dengan meningkatnya jumlah santri, pihak pengelola pesantren kesulitan dalam penyediaan lahan untuk sanitasinya.
- Perilaku santri yang belum ber-PHBS
Masih banyak santri yang belum memahami pentingnya hidup bersih dan sehat, hal ini juga didukung dengan lemahnya sistem pengelolaan sanitasi di pesantren. Baik oleh pengurus maupun oleh santri itu sendiri.
- Keterbatasan biaya
Pada umumnya, pembiayaan operasional pesantren bersifat mandiri yang hanya mengandalkan kepiawaian pengasuh pondok dalam mencari pendanaan. Dan biaya hidup yang dibikin murah tidak mampu menjangkau untuk perbaikan sarana sanitasi di pesantren.
Dari kondisi di atas, jadi wajar jika di pesantren kota dan kabupaten pasuruan terjadi scabies 48,20% dengan perkembangan 6% s/d 27% per tahun.Penderita diare 12% dengan perkembangan 2% s/d 8% pertahun. Penderita ISPA 11,2% dengan perkembangan 3% s/d 7% pertahun, data dinkes jatim 2012.